ciri dan tanda Haji Mabrur, Haji mabrur adalah haji yang diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Tanda-tandanya banyak. Di antaranya adalah hendaknya nafkah (biaya) haji
tersebut dari hasil usaha yang halal karena nafkah menjadi poros
penting dalam kehidupan manusia, terlebih lagi dalam urusan haji. Bahkan
disebutkan bahwa jika seseorang naik haji dengan biaya dari hartanya
yang halal, maka akan ada penyeru yang berseru, “Bekalmu halal dan
kendaraanmu halal, maka hajimu pun mabrur.” Adapun jika dia berangkat
haji dari harta yang haram, maka penyeru tadi akan berseru, “La labbaika
wala sa’daika. Bekalmu haram dan nafkahmu haram, maka hajimu tertolak
tidak mendapat ganjaran.” atau dengan seruan yang semakna. Jadi, di
antara tanda-tanda haji mabrur adalah jika dikerjakandengan biaya dari
nafkah dan usaha yang halal.
Begitu
pula, di antara tanda-tandanya adalah jika orang yang berhaji
mengerjakan manasiknya sesuai dengan tata cara yang disyari’atkan dan
diinginkan tanpa mengurangi sedikitpun, dan menjauhi segala larangan
Allah selama mengerjakan haji.
Di
antara tanda-tandanya pula adalah jika orang yang berhaji itu kembali
dalam keadaan pengamalan agamanya lebih baik daripada sebelum berangkat,
yaitu dia kembali dalam keadaan bertaubat kepada Allah subhanahu wa
ta’ala, istiqamah (konsisten) dalam menjalankan ketaatan-ketaatan
kepada-Nya, dan terus-menerus dalam kondisi seperti itu. Dengan begitu,
hajinya menjadi titik tolak baginya kepada kea rah kebaikan, dan selalu
menjadi peringatan baginya untuk memeperbaiki jalan hidupnya.
ciri dan tanda Haji MabrurAjaran Islam dalam semua aspeknya memiliki hikmah dan tujuan tertentu. Hikmah dan tujuan ini diistilahkan oleh para ulama dengan maqashid syari’ah, yaitu berbagai maslahat yang bisa diraih seorang hamba, baik di dunia maupun di akhirat.
Adapun maslahat akhirat, orang-orang shaleh ditunggu oleh kenikmatan tiada tara yang terangkum dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (hadits qudsi),
قَالَ اللَّه: أَعْدَدْتُ
لِعِبَادِى الصَّالِحِينَ مَا لاَ عَيْنَ رَأَتْ ، وَلاَ أُذُنَ سَمِعَتْ ،
وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ
“Allah berfirman (yang artinya): Telah Aku siapkan
untuk hamba-hambaKu yang shaleh kenikmatan yang tidak pernah dilihat
mata, tidak pernah didengar telinga, dan tidak pernah terdetik di hati
manusia.” [1]
Untuk haji secara khusus, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
والْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
“Haji yang mabrur tidak lain pahalanya adalah surga.”[2]
Adapun di dunia, banyak maslahat yang bisa diperoleh umat
Islam dengan menjalankan ajaran agama mereka. Dan untuk ibadah haji
khususnya, ada beberapa contoh yang bisa kita sebut; seperti menambah
teman, bertemu dengan ulama dan keuntungan berdagang.
Di samping itu, Allah juga memberikan tanda-tanda
diterimanya amal seseorang, sehingga ia bisa menyegerakan kebahagiaan di
dunia sebelum akhirat dan agar ia semakin bersemangat untuk beramal.
Tidak Semua Orang Meraih Haji Mabrur
Setiap orang yang pergi berhaji mencita-citakan haji yang mabrur. Haji mabrur bukanlah sekedar haji yang sah. Mabrur berarti diterima oeh Allah, dan sah berarti menggugurkan kewajiban. Bisa jadi haji seseorang sah sehingga kewajiban berhaji baginya telah gugur, namun belum tentu hajinya diterima oleh Allah Ta’ala.
Jadi, tidak semua yang hajinya sah terhitung sebagai haji
mabrur. Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan, “Yang hajinya mabrur sedikit,
tapi mungkin Allah memberikan karunia kepada jamaah haji yang tidak baik
lantaran jamaah haji yang baik.” [3]
Nah, bagaimana mengetahui mabrurnya haji seseorang? Apa
perbedaan antar haji yang mabrur dengan yang tidak mabrur? Tentunya yang
menilai mabrur tidaknya haji seseorang adalah Allah semata. Kita tidak
bisa memastikan bahwa haji seseorang adalah haji yang mabrur atau tidak.
Para ulama menyebutkan ada tanda-tanda mabrurnya haji, berdasarkan
keterangan al-Quran dan al-Hadits, namun itu tidak bisa memberikan
kepastian mabrur tidaknya haji seseorang.
Di antara tanda-tanda haji mabrur yang telah disebutkan para ulama adalah:
Pertama: Harta yang dipakai untuk haji adalah harta yang halal,[4] karena Allah tidak menerima kecuali yang halal, sebagaimana ditegaskan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
“Sungguh Allah baik, tidak menerima kecuali yang baik. [5]
Orang yang ingin hajinya mabrur harus memastikan bahwa
seluruh harta yang ia pakai untuk haji adalah harta yang halal, terutama
mereka yang selama mempersiapkan biaya pelaksanaan ibadah haji tidak
lepas dari transaksi dengan bank. Jika tidak, maka haji mabrur bagi mereka hanyalah jauh panggang dari api. Ibnu Rajab mengucapkan sebuah syair [6]:
Jika anda haji dengan harta tak halal asalnya.
Maka anda tidak berhaji, yang berhaji hanya rombongan anda.
Allah tidak terima kecuali yang halal saja.
Tidak semua yang haji mabrur hajinya.
Kedua: Amalan-amalannya dilakukan dengan ikhlas dan baik, sesuai dengan tuntunan Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam . Paling
tidak, rukun-rukun dan kewajibannya harus dijalankan, dan semua
larangan harus ditinggalkan. Jika terjadi kesalahan, maka hendaknya
segera melakukan penebusnya yang telah ditentukan.
Di samping itu, haji yang mabrur juga memperhatikan keikhlasan hati, yang seiring dengan majunya zaman semakin sulit dijaga. Mari merenungkan perkataan Syuraih al-Qadhi, “Yang
(benar-benar) berhaji sedikit, meski jamaah haji banyak. Alangkah
banyak orang yang berbuat baik, tapi alangkah sedikit yang ikhlas karena
Allah.” [7]
Pada zaman dahulu ada orang yang menjalankan ibadah haji
dengan berjalan kaki setiap tahun. Suatu malam ia tidur di atas
kasurnya, dan ibunya memintanya untuk mengambilkan air minum. Ia
merasakan berat untuk bangkit memberikan air minum kepada sang ibu. Ia
pun teringat perjalanan haji yang selalu ia lakukan dengan berjalan kaki
tanpa merasa berat. Ia mawas diri dan berpikir bahwa pandangan dan
pujian manusialah yang telah membuat perjalanan itu ringan. Sebaliknya
saat menyendiri, memberikan air minum untuk orang paling berjasa pun
terasa berat. Akhirnya, ia pun menyadari bahwa dirinya telah salah.[8]
Ketiga: Hajinya dipenuhi dengan banyak amalan baik, seperti dzikir, shalat di Masjidil Haram, shalat pada waktunya, dan membantu teman seperjalanan.
Ibnu Rajab berkata, “Maka haji mabrur adalah yang terkumpul di dalamnya amalan-amalan baik, plus menghindari perbuatan-perbuatan dosa.[9]
Di antara amalan khusus yang disyariatkan untuk meraih haji mabrur adalah bersedekah dan berkata-kata baik selama haji. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang maksud haji mabrur, maka beliau menjawab,
إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيبُ الْكَلاَمِ
“Memberi makan dan berkata-kata baik.” [10]
Keempat: Tidak berbuat maksiat selama ihram.
Maksiat dilarang dalam agama kita dalam
semua kondisi. Dalam kondisi ihram, larangan tersebut menjadi lebih
tegas, dan jika dilanggar, maka haji mabrur yang diimpikan akan lepas.
Di antara yang dilarang selama haji adalah rafats, fusuq dan jidal. Allah berfirman,
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui,
barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan-bulan itu untuk
mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, fusuq dan berbantah-bantahan
selama mengerjakan haji.” [11]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barang siapa yang haji dan ia tidak rafats dan tidak fusuq, ia akan kembali pada keadaannya saat dilahirkan ibunya.” [12]
Rafats adalah semua bentuk kekejian dan perkara
yang tidak berguna. Termasuk di dalamnya bersenggama, bercumbu atau
membicarakannya, meskipun dengan pasangan sendiri selama ihram.
Fusuq adalah keluar dari ketaatan kepada Allah,
apapun bentuknya. Dengan kata lain, segala bentuk maksiat adalah fusuq
yang dimaksudkan dalam hadits di atas.
Jidal adalah berbantah-bantahan secara berlebihan.[13]
Ketiga hal ini dilarang selama ihram. Adapun di luar waktu
ihram, bersenggama dengam pasangan kembali diperbolehkan, sedangkan
larangan yang lain tetap tidak boleh.
Demikian juga, orang yang ingin hajinya mabrur harus meninggalkan semua bentuk dosa selama perjalanan ibadah haji, baik berupa syirik, bid’ah maupun maksiat.
Kelima: Setelah haji menjadi lebih baik
Salah satu tanda diterimanya amal seseorang di sisi Allah
adalah diberikan taufik untuk melakukan kebaikan lagi setelah amalan
tersebut. Sebaliknya, jika setelah beramal saleh melakukan perbuatan
buruk, maka itu adalah tanda bahwa Allah tidak menerima amalannya.[14]
Ibadah haji adalah madrasah. Selama kurang lebih
satu bulan para jamaah haji disibukkan oleh berbagai ibadah dan
pendekatan diri kepada Allah. Untuk sementara, mereka terjauhkan dari
hiruk pikuk urusan duniawi yang melalaikan. Di samping itu, mereka juga
berkesempatan untuk mengambil ilmu agama yang murni dari para ulama
tanah suci dan melihat praktik menjalankan agama yang benar.
Logikanya, setiap orang yang menjalankan ibadah haji akan
pulang dari tanah suci dalam keadaan yang lebih baik. Namun yang terjadi
tidak demikian, apalagi setelah tenggang waktu yang lama dari waktu
berhaji. Banyak yang tidak terlihat lagi pengaruh baik haji pada
dirinya.
Bertaubat setelah haji, berubah menjadi lebih baik,
memiliki hati yang lebih lembut dan bersih, ilmu dan amal yang lebih
mantap dan benar, kemudian istiqamah di atas kebaikan itu adalah salah
satu tanda haji mabrur.
Orang yang hajinya mabrur menjadikan ibadah haji sebagai titik tolak untuk membuka lembaran baru dalam menggapai ridho Allah Ta’ala. Ia akan semakin mendekat ke akhirat dan menjauhi dunia.
Al-Hasan al-Bashri mengatakan, “Haji mabrur adalah pulang dalam keadaan zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat.”[15] Ia juga mengatakan, “Tandanya adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan sebelum haji.”[16]
Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan, “Dikatakan bahwa tanda diterimanya haji adalah meninggalkan maksiat
yang dahulu dilakukan, mengganti teman-teman yang buruk menjadi
teman-teman yang baik, dan mengganti majlis kelalaian menjadi majlis dzikir dan kesadaran.” [17]
sebagai penutup
Sekali lagi, yang dapat menilai mabrur tidaknya haji seseorang
adalah Allah semata. Para ulama hanya menjelaskan tanda-tandanya sesuai
dengan ilmu yang telah Allah berikan kepada mereka. Apabila terdapat tanda-tanda ini ada dalam ibadah haji
anda, maka sebaiknyaanda bersyukur atas taufik dari Allah. Anda boleh
berharap ibadah anda diterima oleh Allah, dan teruslah berdoa agar
ibadah anda benar-benar diterima. Adapun jika tanda-tanda itu tidak ada,
maka anda harus mawas diri, istighfar dan memperbaiki amalan anda. Wallahu a’lam.
semoga artikel ciri dan tanda Haji Mabrur ini bermanfaat bagi anda. amin
tag : ciri dan tanda Haji Mabrur, ciri dan tanda Haji Mabrur terbaru, ciri dan tanda Haji Mabrur yang harus anda ketahui, ciri dan tanda Haji Mabrur
semoga artikel ciri dan tanda Haji Mabrur ini bermanfaat bagi anda. amin
tag : ciri dan tanda Haji Mabrur, ciri dan tanda Haji Mabrur terbaru, ciri dan tanda Haji Mabrur yang harus anda ketahui, ciri dan tanda Haji Mabrur
0 komentar:
Post a Comment