pelajaran & les dapat membuat anak stres, Anak-anak bisa mengalami
stres karena kegiatan
sehari-harinya. Salah satunya dari sekolah. Banyaknya tugas yang harus
dikerjakan setelah pulang sekolah, atau beratnya beban yang diberikan pihak
sekolah dalam meningkatkan prestasi belajar
anak. Banyak orangtua yang menuntut
agar anak selalu berprestasi di
sekolah, sehingga semua les pun wajib diikuti anak yang bisa menambah beban anak
menjadi berat. Rasa tertekan jelas menimbulkan dampak negatif pada anak, baik secara fisik maupun psikis
(Wibisono, 2009).
Banyak pelajar menganggap ruang
kelas sebagai penjara, karena proses belajar
yang tidak menyenangkan. Duduk berjam-jam mencurahkan perhatian dan pikiran
pada mata pelajaran tak ubahnya
duduk di atas bara api. Belajar
dirasakan sebagai beban dan tidak nyaman. Bahkan, kata Bobbi DePorter (2009),
"Pada akhir sekolah dasar, kata belajar
dapat membuat banyak siswa tegang dan takut." Yang terjadi ialah anak menghambat pengalaman belajarnya secara terpaksa karena
mengalami kebuntuan belajar. Senada
dengan pernyataan diatas, Hidayati (2010) memaparkan bahwa suasana belajar yang tidak nyaman dan metode
pembelajaran yang kurang efektif
(kurang menyentuh aspek emosional/afektifnya) bisa membuat anak sulit mengikuti dan menyesuaikan kemampuannya, sehingga
lama-lama anak menjadi malas, jenuh
dan stres menghadapi pelajaran di sekolah. Memaksakan anak mengikuti kegiatan les atau kursus
tertentu yang tidak sesuai dengan keinginannya juga bisa menimbulkan hal yang
sama.
Sebuah survei yang dilansir oleh
sebuah lembaga psikologi di Amerika, APA, mengenai stres pada anak
menyatakan bahwa jika anak tidak
segera diajarkan cara untuk mengatasi stres,
maka kesehatannya akan terancam. Studi tersebut menyatakan bahwa setidaknya 8
dari 10 anak di Amerika mengalami stres dan gejala yang berkaitan dengans
stres. Sumber stres anak di sekolah,
guru adalah pengganti orangtua bagi anak.
Selain itu, tujuan pendidikan sesungguhnya adalah membentuk anak menjadi pribadi yang antara lain
cerdas secara intelektual dan emosional. Kenyataannya, guru dan aturan sekolah
seringkali menjadi sumber stres anak. Jika anak tidak mencoba belajar
menghadapi stres, maka hal tersebut
akan bisa berdampak pada kesehatannya, baik psikis maupun psikologis
(bataviase.co.id, 2010).
Kasus anak stres juga menimpa
Lysher (Siswi SD: Selamat Tinggal Sekolah, Selamat Tinggal Hidup; Koran Tempo,
23 Agustus 2001). Siswi kelas empat SD berusia 10 tahun asal Singapura itu,
mengakhiri hidupnya dengan terjun bebas dari sebuah apartemen di tingkat lima.
Ia ditemukan terkapar tewas dengan mengenakan kaus oblong - celana pendek
seragam sekolahnya. Siswi yang tergolong pintar di sekolah itu sangat terpukul
ketika mendapat ranking ketiga.
Selain itu, sebuah artikel dari
voa-islam.com edisi 01 September 2009, memaparkan bahwa berdasarkan penelitian
mengenai pemetaan merokok anak di
Medan, ditemukan banyak anak sekolah
di Medan yang merokok dengan alasan untuk menghilangkan stres. Temuan tersebut berdasarkan hasil penelitan pada Agustus-November
2008 terhadap anak laki-laki dan
perempuan berusia 10-18 tahun dengan sampel anak sekolah siswa SD, SMP dan SMA di pusat maupun pinggiran kota
sebanyak 12 sekolah dan MI, MTS, dan MA di pusat kota. Alasan anak merokok juga beragam, yaitu
sebanyak 32,12 persen anak sekolah
di Medan merokok dengan alasan untuk menghilangkan stres.
Dalam istilah medis, stres didefinisikan sebagai suatu
rangsangan fisik dan psikologi yang menghasilkan reaksi mental dan fisiologi
yang dapat menimbulkan berbagai macam penyakit. Sedangkan secara teknis, stres merupakan pengrusakan
keseimbangan tubuh (homeostasis), yang dicetus oleh
pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan, baik yang nyata maupun yang
tidak nyata. Anak-anak yang sedang mengalami stres mungkin tidak tahu bahwa mereka
sedang berada dalam kondisi stres,
sehingga dibutuhkan peran orang tua untuk mengenali tanda-tanda stres pada anak (Catootjie, 2009).
Pendapat Irzal (2010) seorang anak yang stres dapat diidentifikasi dengan memperhatikan tingkah lakunya.
Reaksi-reaksi psikosomatik, termasuk problem pencernaan, sakit kepala,
kelelahan, gangguan tidur, dan mengompol mungkin merupakan tanda-tanda bahwa
ada sesuatu yang tidak beres. Tanda lainnya seperti sering menangis, senang
menyendiri, rewel, tidak mau berangkat ke sekolah atau suatu tempat, membuat kenakalan
di sekolah atau di lingkungan tempat bermainnya, penurunan nilai sekolah.
Bahkan, penyakit fisik pada anak,
misalnya merasa pusing, mual, diare, kelumpuhan akibat depresi, atau penyakit
lainnya merupakan dampak dari stres.
Respons anak-anak terhadap
situasi tertentu dapat berbeda-beda. Ada situasi yang dianggap menegangkan bagi
anak yang satu, tapi tidak untuk anak lain. Meski demikian, stres pada anak biasanya disebabkan oleh : situasi baru yang terasa asing atau
tak terduga, harapan-harapan yang tidak pasti terpenuhinya, antisipasi terhadap
sesuatu yang tidak menyenangkan (sakit dan sebagainya), ketakutan akan gagal
(prestasi belajar ataupun dalam
pergaulan), memasuki tahap penting dalam kehidupan (meninggalkan TK masuk SD,
dan sebagainya) (Widyarini, 2010).
Stres
yang terlalu banyak atau terlalu sedikit sama-sama dapat berbahaya. Jika orang
tua terlalu melindungi anaknya dari
bermacam-macam stres, anak tidak akan pernah belajar bagaimana menghadapi berbagai
macam stres secara aman. Sejumlah stres yang dapat diterima akal
sesungguhnya akan membantu anak
berhasil di sekolah. Macam stres ini
memotivasi anak untuk mencapai
keberhasilan dan membuat lebih kreatif dan produktif. Agar sekolah berhasil, anak musti belajar memanfaatkan energi positif yang dimunculkan oleh stres. Pada saat yang sama, anak harus belajar mengurangi tingkatan-tingkatan stres yang tidak sehat yang dapat menurunkan prestasi sekolahnya
dan keberadaannya.
tag: pelajaran & les dapat membuat anak stres, pelajaran & les dapat membuat anak stres, pelajaran & les dapat membuat anak stres
0 komentar:
Post a Comment