Konfirmasi itu hadir akhirnya. Gempa berkekuatan 6 skala Richter menggoyang Jakarta yang terlelap pada Minggu (15/4) dini hari. Ini gempa kedua dalam empat hari. Gempa ini berpusat di zona subduksi, kedalaman 40 kilometer. Kamis (12/4), pukul 22.01 WIB, terjadi gempa berkekuatan 5 skala Richter.
Berjarak dua derajat bujur bumi berarti berjarak maksimal 222 kilometer. Jarak maksimal tercapai jika dua garis bujur sama-sama berada di garis ekuator. Jarak 222 kilometer sekitar empat jam bermobil dengan kecepatan sekitar 60 kilometer per jam. Jarak ini hanya sekitar separuh panjang segmen sesar yang aktif saat terjadi gempa Aceh pekan lalu, yaitu 500 kilometer.
Gempa kedua dalam empat hari ini semakin menegakkan antena kewaspadaan para ahli gempa dari berbagai pendekatan ilmu. Wilayah yang sejak pascagempa Aceh tahun 2004 menjadi pembicaraan dan terus disebut-sebut sebagai wilayah dengan seismic gap, yang berpotensi menimbulkan gempa besar, seakan mendapat konfirmasi. Gempa di Aceh tahun 2004 yang menyebabkan tsunami dahsyat telah mengubah dunia penelitian soal gempa.
Menurut pakar geodinamika dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB, Irwan Meilano, Minggu, "Seismic gap berarti ada kekosongan data di wilayah itu atau gempanya sedikit dan kecil-kecil. Namun, kosongnya data tidak otomatis berpotensi gempa besar."
Menurut Irwan, ada dua kemungkinan pada daerah seismic gap. Pertama, data tidak ada karena memang tak ada potensi menghasilkan gempa besar. Yang kedua, gempa-gempa kecil tersebut sebenarnya merupakan tahapan akumulasi energi gempa. Jika ini yang terjadi, pada seismic gap tersebut memang tersimpan potensi gempa besar.
Kemungkinan seismic gap berpotensi gempa bisa dilihat dari adanya data kegempaan di masa lalu dan penelitian yang bisa membuktikan adanya proses akumulasi energi.
”Data kegempaan di masa lalu bisa dilihat dari deposit akibat terjadinya gempa di masa lalu. Jika ada, berarti ada kemungkinan akan terjadi lagi gempa,” kata Irwan.
Untuk mengetahui ada tidaknya proses akumulasi energi, bisa diteliti dengan meneliti ada tidaknya pergeseran suatu lokasi. "Ini bisa didapatkan dengan menggunakan data dari beberapa alat GPS (sistem posisi global) yang dipasang di sekitar segmen yang diteliti," katanya.
Ia menambahkan, "Jika kelihatan ada bagian yang menjauh, atau terdorong, kita bisa membuat model untuk menjelaskan pergerakan lempeng di daerah itu. Seberapa kuat energinya dan bagaimana sebarannya. Di daerah Selat Sunda, dari data GPS milik Badan Informasi Geospasial terlihat ada pergerakan dari selatan ke utara."
Segmen lempeng
Di daerah Selat Sunda terdapat segmen lempeng pada batas pertemuan Lempeng (samudra) Indo-Australia dengan Lempeng Eurasia—di mana Pulau Jawa merupakan bagiannya. Segmen Selat Sunda selama ini selalu disebut sebagai daerah dengan seismic gap yang berpotensi mengakibatkan suatu gempa besar.
Garis pertemuan antarlempeng tersebut berbelok dari sebelah barat Pulau Sumatera ke sebelah selatan Pulau Jawa.
Adanya sebaran deposit endapan di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa ditegaskan oleh peneliti di Tsunami Research Group Balai Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Widjo Kongko, dari penelitian bersama Danny Hilman, pakar gempa dari LIPI.
"Di selatan Jawa banyak sekali deposit. Itu menunjukkan di sana pernah terjadi pergerakan besar. Pernah terjadi tsunami. Kami mengkhawatirkan terjadi gempa cukup besar di selatan Jawa," ujarnya pekan lalu.
Ia mengungkapkan kekhawatiran tersebut menanggapi dua gempa yang mengguncang Aceh pada Rabu lalu yang berlangsung berturutan dari dua sumber gempa yang berbeda. Kedua pusat gempa tak terjadi di zona subduksi, zona pertemuan antarlempeng yang kedalamannya 30 km-40 km. Kedua pusat gempa Aceh berada di lempeng samudra yang jauh dari zona subduksi.
”Pada penelitian saya, batas adanya sedimen atau deposit endapan pada palung Sunda berakhir hingga daerah Banyuwangi,” tutur Widjo.
Menurut dia, dari Bali ke timur, sepanjang garis subduksi ke wilayah timur Indonesia, tidak begitu banyak sedimen ditemukan.
Ketika konfirmasi dari ahli telah didapatkan, artinya hanya satu: segmen Selat Sunda memang aktif. Karena itu, Irwan hanya menambahkan, ”Pihak lain yang berwenang sebaiknya menyiapkan komunitas.” Meski telah banyak penelitian soal gempa, kita belum bisa menduga kapan gempa menyapa
Berjarak dua derajat bujur bumi berarti berjarak maksimal 222 kilometer. Jarak maksimal tercapai jika dua garis bujur sama-sama berada di garis ekuator. Jarak 222 kilometer sekitar empat jam bermobil dengan kecepatan sekitar 60 kilometer per jam. Jarak ini hanya sekitar separuh panjang segmen sesar yang aktif saat terjadi gempa Aceh pekan lalu, yaitu 500 kilometer.
Gempa kedua dalam empat hari ini semakin menegakkan antena kewaspadaan para ahli gempa dari berbagai pendekatan ilmu. Wilayah yang sejak pascagempa Aceh tahun 2004 menjadi pembicaraan dan terus disebut-sebut sebagai wilayah dengan seismic gap, yang berpotensi menimbulkan gempa besar, seakan mendapat konfirmasi. Gempa di Aceh tahun 2004 yang menyebabkan tsunami dahsyat telah mengubah dunia penelitian soal gempa.
Menurut pakar geodinamika dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB, Irwan Meilano, Minggu, "Seismic gap berarti ada kekosongan data di wilayah itu atau gempanya sedikit dan kecil-kecil. Namun, kosongnya data tidak otomatis berpotensi gempa besar."
Menurut Irwan, ada dua kemungkinan pada daerah seismic gap. Pertama, data tidak ada karena memang tak ada potensi menghasilkan gempa besar. Yang kedua, gempa-gempa kecil tersebut sebenarnya merupakan tahapan akumulasi energi gempa. Jika ini yang terjadi, pada seismic gap tersebut memang tersimpan potensi gempa besar.
Kemungkinan seismic gap berpotensi gempa bisa dilihat dari adanya data kegempaan di masa lalu dan penelitian yang bisa membuktikan adanya proses akumulasi energi.
”Data kegempaan di masa lalu bisa dilihat dari deposit akibat terjadinya gempa di masa lalu. Jika ada, berarti ada kemungkinan akan terjadi lagi gempa,” kata Irwan.
Untuk mengetahui ada tidaknya proses akumulasi energi, bisa diteliti dengan meneliti ada tidaknya pergeseran suatu lokasi. "Ini bisa didapatkan dengan menggunakan data dari beberapa alat GPS (sistem posisi global) yang dipasang di sekitar segmen yang diteliti," katanya.
Ia menambahkan, "Jika kelihatan ada bagian yang menjauh, atau terdorong, kita bisa membuat model untuk menjelaskan pergerakan lempeng di daerah itu. Seberapa kuat energinya dan bagaimana sebarannya. Di daerah Selat Sunda, dari data GPS milik Badan Informasi Geospasial terlihat ada pergerakan dari selatan ke utara."
Segmen lempeng
Di daerah Selat Sunda terdapat segmen lempeng pada batas pertemuan Lempeng (samudra) Indo-Australia dengan Lempeng Eurasia—di mana Pulau Jawa merupakan bagiannya. Segmen Selat Sunda selama ini selalu disebut sebagai daerah dengan seismic gap yang berpotensi mengakibatkan suatu gempa besar.
Garis pertemuan antarlempeng tersebut berbelok dari sebelah barat Pulau Sumatera ke sebelah selatan Pulau Jawa.
Adanya sebaran deposit endapan di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa ditegaskan oleh peneliti di Tsunami Research Group Balai Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Widjo Kongko, dari penelitian bersama Danny Hilman, pakar gempa dari LIPI.
"Di selatan Jawa banyak sekali deposit. Itu menunjukkan di sana pernah terjadi pergerakan besar. Pernah terjadi tsunami. Kami mengkhawatirkan terjadi gempa cukup besar di selatan Jawa," ujarnya pekan lalu.
Ia mengungkapkan kekhawatiran tersebut menanggapi dua gempa yang mengguncang Aceh pada Rabu lalu yang berlangsung berturutan dari dua sumber gempa yang berbeda. Kedua pusat gempa tak terjadi di zona subduksi, zona pertemuan antarlempeng yang kedalamannya 30 km-40 km. Kedua pusat gempa Aceh berada di lempeng samudra yang jauh dari zona subduksi.
”Pada penelitian saya, batas adanya sedimen atau deposit endapan pada palung Sunda berakhir hingga daerah Banyuwangi,” tutur Widjo.
Menurut dia, dari Bali ke timur, sepanjang garis subduksi ke wilayah timur Indonesia, tidak begitu banyak sedimen ditemukan.
Ketika konfirmasi dari ahli telah didapatkan, artinya hanya satu: segmen Selat Sunda memang aktif. Karena itu, Irwan hanya menambahkan, ”Pihak lain yang berwenang sebaiknya menyiapkan komunitas.” Meski telah banyak penelitian soal gempa, kita belum bisa menduga kapan gempa menyapa
0 komentar:
Post a Comment